Wednesday, August 17, 2011

Evolusi Pertanian, Revolusi Industri dan Masa Depan Petani

Hingga abad 18, semua petani di belahan bumi ini masih menggunakan pertanian alami. Revolusi industri yang terjadi di Eropa telah mengubah wajah dunia menjadi serba cepat, massal dan global. Merkantilisme yang bergerak diawal abad 16 yang ditandai dengan penjelajahan samudera dan benua baru oleh bangsa eropa semakin menemukan pasangannya setelah revolusi industri pecah di prancis dan inggris. Pelan-pelan merkantilisme berubah menjadi kolonialisme di bumi Asia, Afrika dan amerika latin. Pengenalan berbagai macam tanaman perkebunan untuk kepentingan eropa dikembangkan secara besar-besaran di negeri jajahan , termasuk Indonesia.

Orientasi pertanian berubah dari upaya memenuhi kebutuhan pangan domestik menjadi kebutuhan ekspor. Perlahan tapi pasti, rakyat dipaksa untuk membuka hutan menjadi perkebunan teh, karet, kina, kopi, kakau dan lainnya. pemanfaatan lahan untuk perkebunan semakin menjauhkan petani terhadap jenis tanaman pangan untuk kebutuhan keluarga. Pada situasi inilah banyak terjadi kelaparan di masyarakat pinggir hutan dan perkebunan.

Kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan yang menimpa petani di pedesaan
menyebabkan perlawanan yang keras dari petani di berbagai daerah di Indonesia, seperti Banten, jawa tengah, jawa timur hingga luar jawa. Perasaan senasiblah yang akhirnya menjadikan Bangsa Indonesia ini merdeka. Jutaan nyawa petani melayang selama proses penjajahan. Tentu pengorbanan ini seharusnya dibayar dengan perbaikan nasib petani setelah kemerdekaan.

pasca kemerdekaan, belum terlihat upaya yang serius dari pemerintah untuk mensejahterakan petani. harapan petani untuk memiliki lahan hanya sebatas diakomodir dalam UUPA N0 5 tahun 1960. Namun UU ini belum pernah dilaksanakan. Gelombang revolusi hijau semakin meluluhlantakkan semangat petani dalam memperbaiki nasibnya. Dengan kepemilikan lahan yang sangat sempit, petani terpaksa mengikuti kebijakan pemerintah- khususnya petani padi- untuk menggunakan bahan kimia dan bibit hibrida agar produksinya maksimal. Memang benar, petani bisa panen tiga kali dan dengan produksi yang lebih baik, tetapi petani tetap tak berdaya dikarenakan harga yang jatuh tiap kali panen.

Hingga kini, setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun. nasib petani tetap sama seperti zaman penjajahan dulu. bahkan adanya berbagai perjanjian perdagangan internasional seperti WTO, Free Trade Area dan sejenisnya, semakin melemahkan petani Indonesia. Banjirnya produk impor dengan harga yang lebih murah seakan menjadi pertanda, petani indonesia sedang sekarat. ….perlu revolusi pertanian bukan hanya sekedar evolusi, jika masih yakin bahwa petani adalah sokoguru bangsa indonesia. Jika Petani ambruk maka bangsa ini pun tinggal menunggu waktu saja.., semoga arwah para petani yang mati dalam perjuangan bangsa ini diterima disisi-Nya, Amien.

Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.