Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdul fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.
Warisan Sejarah: Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdul fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.
Warisan Sejarah: Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
- Sunan Gunung Jati
- Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
- Maulana Yusuf 1570 - 1580
- Maulana Muhammad 1585 - 1590
- Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640
- Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
- Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
- Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
- Sultan Yahya 1687 - 1690
- Sultan Zainul Abidin 1690 - 1733
- Sultan Arifin 1733–1748
- Halimin
- Abul Nazar Mohammad Arif Zainul Asikin 1753–1777
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M namun ada juga
yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung
Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450. Ayah
beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat,
India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di
tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah
Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath,
ulama besar di Hadramawt, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah
melalui cucu beliau Imam Husayn.
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara
Santang putri Prabu
Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad
bernama asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa ditemui di dalam komplek KLENTENG di Pasar
Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar
masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan
bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan
Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian
seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat
belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat
belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif
membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau
datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah
dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan
Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama
Raden Syarif Hidayatullah.
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek
buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di
pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang
dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah
karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat
seluruh umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota
Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden
Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin
perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setalah Uwaknya wafat.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik
dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini
beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan
Banten I.
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai
anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo.
Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah
yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila
Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka
Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di
Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di
Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti
dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi
sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama
yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di
Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah
masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses
Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit
(di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis
yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka,
merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah
berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda
Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus
dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau
Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih
dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2
di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521
memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan
mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan
nama Fatahillah),untuk
menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan
menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis
datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah
di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan
Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa
dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki
lagi kota pelabuhan di Pulau Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi
kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527
bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam
yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad
di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan
Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta
dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera
bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak
wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu
dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama
Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam
riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat
sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan
para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga
kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan
dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi
yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing
dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten
wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini,
sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang
Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps
Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal Penduduk
Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya
sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota
yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta
Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan
ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran
Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing
ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena
tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum
Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama
yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah
memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan
Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar
dari wilayah Istana Pakuan.
Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah
membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam
kapasitas sebagai Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan
yang bijak.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika
itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur
mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan
seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama
lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631
– 1692)
adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan
Banten periode 1640-1650.
Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat,
ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan
gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di
dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten
Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada
periode 1651
- 1682.
Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan
perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian
Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan
terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan
Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.
Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf
sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan
bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat
Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu
Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
SILSILAH SULTAN BANTEN
SYARIF HIDAYATULLAH - SUNAN GUNUNG JATI Berputera :
|
||
1. Ratu Ayu
Pembayun.
|
4. Maulana
Hasanuddin
|
|
2. Pangeran
Pasarean
|
5. Pangeran
Bratakelana
|
|
3. Pangeran
Jaya Lelana
|
6. Ratu Wianon
|
|
|
7. Pangeran
Turusmi
|
|
PANGERAN HASANUDDIN - PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) Berputera :
|
||
1. Ratu Pembayu
|
8. Ratu Keben
|
|
2. Pangeran
Yusuf
|
9. Ratu
Terpenter
|
|
3. Pangeran
Arya Japara
|
10. Ratu Biru
|
|
4. Pangeran
Suniararas
|
11. Ratu Ayu
Arsanengah
|
|
5. Pangeran
Pajajara
|
12. Pangeran
Pajajaran Wado
|
|
6. Pangeran
Pringgalaya
|
13. Tumenggung
Wilatikta
|
|
7. Pangeran
Sabrang LorPangeran
|
14. Ratu Ayu
Kamudarage
|
|
|
15. Pangeran
Sabrang Wetan
|
|
MAULANA YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) Berputra :
|
||
1. Pangeran
Arya Upapati
|
8. Ratu Rangga
|
|
2. Pangeran
Arya Adikara
|
9. Ratu Ayu
Wiyos
|
|
3. Pangeran
Arya Mandalika
|
10. Ratu Manis
|
|
4. Pangeran
Arya Ranamanggala
|
11. Pangeran
Manduraraja
|
|
5. Pangeran
Arya Seminingrat
|
12. Pangeran
widara
|
|
6. Ratu Demang
|
13. Ratu
Belimbing
|
|
7. Ratu
Pecatanda
|
14. Maulana
Muhammad
|
|
MAULANA MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) Berputra :
|
||
1. Pangeran
Abdul Kadir
|
|
|
SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD 'ABDUL KADIR KENARI (15961651) Berputra:
|
||
1. Sultan 'Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
|
19. Pangeran
Arya Wirasuta
|
|
2. Ratu Dewi
|
20. Ratu
Gading20.
|
|
3. Ratu Ayu
|
21. Ratu Pandan
|
|
4. Pangeran
Arya Banten
|
22. Pangeran
Wirasmara
|
|
5. Ratu Mirah
|
23. Ratu Sandi
|
|
6. Pangeran
Sudamanggala
|
24. Pangeran
Arya Jayaningrat
|
|
7. Pangeran
Ranamanggala
|
25. Ratu Citra
|
|
8. Ratu
Belimbing
|
26. Pangeran
Arya Adiwangsa
|
|
9. Ratu Gedong
|
27. Pangeran
Arya Sutakusuma
|
|
10. Pangeran
Arya Maduraja
|
28. Pangeran
Arya Jayasantika
|
|
11. Pangeran
Kidul
|
29. Ratu Hafsah
|
|
12. Ratu Dalem
|
30. Ratu Pojok
|
|
13. Ratu Lor
|
31. Ratu Pacar
|
|
14. Pangeran
Seminingrat
|
32. Ratu
Bangsal
|
|
15. Ratu Kidul
|
33. Ratu
Salamah
|
|
16. Pangeran
Arya Wiratmaka
|
34. Ratu
Ratmala
|
|
17. Pangeran
Arya Danuwangsa
|
35. Ratu
Hasanah
|
|
18. Pangeran
Arya Prabangsa
|
36. Ratu
Husaerah
|
|
|
37. Ratu
Kelumpuk
|
|
|
38. Ratu Jiput
|
|
|
39. Ratu
Wuragil
|
|
PUTRA MAHKOTA SULTAN 'ABDUL MA'ALI AHMAD, Berputera:
|
||
1. Abul Fath Abdul
Fattah
|
8. Pangeran
Arya Kidul
|
|
2. Ratu
Panenggak
|
9. Ratu
Tinumpuk
|
|
3. Ratu Nengah
|
10. Ratu Inten
|
|
4. Pangeran
Arya Elor
|
11. Pangeran
Arya Dipanegara
|
|
5. Ratu Wijil
|
12. Pangeran
Arya Ardikusuma
|
|
6. Ratu Puspita
|
13. Pangeran
Arya Kulon
|
|
7. Pangeran Arya
Ewaraja
|
14. Pangeran
Arya Wetan
|
|
|
15. Ratu Ayu
Ingalengkadipura
|
|
SULTAN AGENG TIRTAYASA -'ABUL FATH 'ABDUL FATTAH (1651-1672) Berputra :
|
||
1. Sultan Haji
|
16. Tubagus
Muhammad 'Athif
|
|
2. Pangeran
Arya 'abdul 'Alim
|
17. Tubagus
Abdul
|
|
3. Pangeran
Arya Ingayudadipura
|
18. Ratu Raja
Mirah
|
|
4. Pangeran
Arya Purbaya
|
19. Ratu Ayu
|
|
5. Pangeran
Sugiri
|
20. Ratu Kidul
|
|
6. Tubagus
Rajasuta
|
21. Ratu Marta
|
|
7. Tubagus
Rajaputra
|
22. Ratu Adi
|
|
8. Tubagus
Husaen
|
23. Ratu Ummu
|
|
9. Raden
Mandaraka
|
24. Ratu
Hadijah
|
|
10. Raden Saleh
|
25. Ratu
Habibah
|
|
11. Raden Rum
|
26. Ratu
Fatimah
|
|
12. Raden Mesir
|
27. Ratu
Asyiqoh
|
|
13. Raden
Muhammad
|
28. Ratu
Nasibah
|
|
14. Raden
Muhsin
|
29. Tubagus
Kulon
|
|
15. Tubagus
Wetan
|
|
|
SULTAN ABU NASR ABDUL KAHHAR - SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :
|
||
1. Sultan Abdul
Fadhl
|
6. Ratu
Muhammad Alim
|
|
2. Sultan Abul
Mahasin
|
7. Ratu Rohimah
|
|
3. Pangeran
Muhammad Thahir
|
8. Ratu Hamimah
|
|
4. Pangeran
Fadhludin
|
9. Pangeran
Ksatrian
|
|
5. Pangeran
Ja'farrudin
|
10. Ratu Mumbay
(Ratu Bombay)
|
|
SULTAN ABUDUL FADHL (1687-1690) Berputra :
|
||
- Tidak
Memiliki Putera
|
|
|
SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :
|
||
1. Sultan
Muhammad Syifa
|
31. Raden
Putera
|
|
2. Sultan
Muhammad Wasi'
|
32. Ratu
Halimah
|
|
3. Pangeran
Yusuf
|
33. Tubagus
Sahib
|
|
4. Pangeran
Muhammad Shaleh
|
34. Ratu Sa'idah
|
|
5. Ratu Samiyah
|
35. Ratu
Satijah
|
|
6. Ratu
Komariyah
|
36. Ratu
'Adawiyah
|
|
7. Pangeran
Tumenggung
|
37. Tubagus
Syarifuddin
|
|
8. Pangeran
Ardikusuma
|
38. Ratu
'Afiyah Ratnaningrat
|
|
9. Pangeran
Anom Mohammad Nuh
|
39. Tubagus
Jamil
|
|
10. Ratu
Fatimah Putra
|
40. Tubagus
Sa'jan
|
|
11. Ratu
Badriyah
|
41. Tubagus
Haji
|
|
12. Pangeran
Manduranagara
|
42. Ratu
Thoyibah
|
|
13. Pangeran
Jaya Sentika
|
43. Ratu
Khairiyah Kumudaningrat
|
|
14. Ratu
Jabariyah
|
44. Pangeran
Rajaningrat
|
|
15. Pangeran
Abu Hassan
|
45. Tubagus
Jahidi
|
|
16. Pangeran
Dipati Banten
|
46. Tubagus
Abdul Aziz
|
|
17. Pangeran
Ariya
|
47. Pangeran
Rajasantika
|
|
18. Raden Nasut
|
48. Tubagus
Kalamudin
|
|
19. Raden
Maksaruddin
|
49. Ratu SIti Sa'ban Kusumaningrat
|
|
20. Pangeran
Dipakusuma
|
50. Tubagus
Abunasir
|
|
21. Ratu Afifah
|
51. Raden
Darmakusuma
|
|
22. Ratu Siti
Adirah
|
52. Raden Hamid
|
|
23. Ratu
Safiqoh
|
53. Ratu Sifah
|
|
24. Tubagus
Wirakusuma
|
54. Ratu Minah
|
|
25. Tubagus
Abdurrahman
|
55. Ratu
'Azizah
|
|
26. Tubagus
Mahaim
|
56. Ratu Sehah
|
|
27. Raden Rauf
|
57. Ratu
Suba/Ruba
|
|
28. Tubagus
Abdul Jalal
|
58. Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)
|
|
29. Ratu Hayati
|
|
|
30. Ratu
Muhibbah
|
|
|
SULTAN MUHAMMAD SYIFA' ZAINUL ARIFIN (1733 - 1750) Berputra :
|
||
1.Sultan
Muhammad 'Arif
|
7. Ratu
Sa'diyah
|
|
2. Ratu Ayu
|
8. Ratu Halimah
|
|
3. Tubagus
Hasannudin
|
9. Tubagus Abu
Khaer
|
|
4. Raden Raja
Pangeran Rajasantika
|
10. Ratu Hayati
|
|
5. Pangeran
Muhammad Rajasantika
|
11. Tubagus
Muhammad Shaleh
|
|
6. Ratu 'Afiyah
|
|
|
SULTAN SYARIFUDDIN ARTU WAKIL (1750 - 1752 )
|
||
- Tidak
Berputera
|
|
|
SULTAN MUHAMMAD WASI' ZAINUL 'ALIMIN (1752-1753)
|
||
- Tidak
Berputera
|
|
|
SULTAN MUHAMMAD 'ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) Berputra :
|
||
1. Sultan Abul
Mafakhir Muhammad Aliyudin
|
4. Pangeran
Suralaya
|
|
2. Sultan
Muhyiddin Zainusholiohin
|
5. Pangeran
Suramanggala
|
|
3 . Pangeran
Manggala
|
|
|
SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799) Berputra :
|
||
1. Sultan
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
|
5. Pangeran
Musa
|
|
2. Sultan
Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
|
6. Pangeran
Yali
|
|
3. Pangeran
Darma
|
7. Pangeran
Ahmad
|
|
4. Pangeran
Muhammad Abbas
|
|
|
SULTAN MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN (1799-1801) Berputra :
|
||
1. Sultan
Muhammad Shafiuddin
|
|
|
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
|
||
Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
|
||
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
|
||
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
|
||
Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
|
||
Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
|
||
0 comments:
Post a Comment