Friday, August 19, 2011

Aksi - Refleksi Vs Narsisme

Lodzi
Ada saatnya orang harus menyadari dirinya. bukan saja menyangkut hal hal yang menimpa dan menempatkannya selaku objek pesakitan, namun juga sejauh mana ia mampu menyerap segala kemungkinan dari apa yang telah ia timpakan (dalam posisi sebagai subjek) pada medan hidup yang ia lakoni, untuk kemudian mentahbiskannya sebagai bekal sikap yang upgraded bagi langkah ke depan kelak di kemudian hari.

Secara normatif dapat kita katakan di sini, pengalaman adalah pelajaran untuk menambah bobot hidup diri, baik pada tingkat asumsi asumsi hingga skilling dan psikomotorik yang menjadi latar gerak progresi.

Demikianlah lantas hidup adalah rangkaian kerja dan perenungan yang berlangsung secara simultan, terus menerus. kita menjalani, menyerap, hiruk pikuk dengan segala kegiatan yang bisa jadi sama sekali tak pernah kita rencanakan sebelumnya.

Di siang hari mungkin kita menemui persoalan pelik di tengah jalan. otak dan segala kemampuan kita dipaksa habis habisan untuk mengambil tindakan tindakan yang bukan saja tepat tapi juga cepat. Kita pun berusaha dengan sebaik mungkin. Dan demikian di malam harinya kita tercengang mengingat seluruh kronologi kejadian tadi dan menganalisa semua yang telah kita ambil dan putuskan...di saat itu, sering kalinya kita baru menyadari alangkah bodohnya kita.

Refleksi memiliki fungsi yang tidak saja merunut kejadian yang melibatkan diri kita baik secara langsung maupun tidak, sebagai pelaku ataupun korban. Rafleksi tak hanya menjadikan kita berhenti hanya pada aras ingatan kronologis belaka, melainkan melampaui proses check-recheck secara holistis yang karenanya mengharuskan pula kemampuan untuk dapat melompat jauh ke berbagai belantara memori, entah yang pernah kita alami sendiri, pengalaman orang lain hingga yang bersifat imajiner sebagai apa yang kita namakan "keharusan ideal".

Dengan analog seperti biasa, di hidup kita miliki kaca. Melihat pantulan muka sendiri di sana maka kita seperti sedang mengukur kemungkinan dengan angle tertentu, bagaimana kiranya orang melihat kita: bagaimana kita di mata mereka.Mengambil jarak dari diri sendiri untuk membaca baik buruk gambaran yang menempel pada diri kita adalah tindakan yang menautkan seluruh potensi daya ingat serta mengasosiasikan diri sebagai subjek aktip yang sedang melihat jauh ke dalam diri.

Dan sebagai catatan, setidaknya ada dua 'resiko' dari tindakan 'mengaca ini'. kita musti berhati hati!. Pertama, kita akan melihat diri sedemikian buruk dan ini bisa bikin kita lantas memecahkan kaca yang telah berjasa memantulkan wajah kita dan memberi banyak informasi penting. Akibatnya, ini bisa mengacaukan ketahanan self confidence, harapan dst. Dan Kedua, sebaliknya kita terjebak dalam 'ilusi' yang dapat saja diciptakan oleh kaca. Jika kita terlampau larut mengagumi diri sendiri, maka bahaya keterpurukan semisal kesombongan dan lupa daratan bisa jadikan diri juga akan merugi banyak. Orang jadi over confidence, menganggap diri paling benar dan karenanya akan mengalami kesulitan untuk belajar, terutama bagaimana cara memperlakukan hati...hidup dengan hati...padahal kita sendiri yakin, hanya melalui 'materi' inilah kebenaran hakiki baru dapat di akses.

Mencintai dan mengagumi diri sendiri tentu saja boleh, bahkan harus, namun tentu dalam proporsi yang wajar. jika berlebih maka bisa bisa nasib kita akan berakhir seperti Narcissus, anak dari pasangan Dewa sungai, Chepissus dan peri Liriope dalam mitologi Yunani kuno.

Narcissus yang memang sangat tampan mengacuhkan jerit cinta putri Echo. Suatu saat Dewi Nemesis melihat penderitan sang putri dan maneruh iba. Dia berniat menghukum Narcissus dengan menjadikannya jatuh cinta pada dirinya sendiri.

Terjadilah yang harus terjadi, begitulah kira kira akhirnya Narcissus suatu hari berjalan di dekat sungai Styx dan tanpa sengaja melihat pantulan wajahnya sendiri. Ia pun jatuh cinta alang kepalang akan ketampanannya. Tak beranjak ia dari bibir sungai, hingga kemudian tewas tercebur ke dalamnya. Dewa dewa menemukan mayatnya dan mengubahnya menjadi bunga yang kemudian dinamakan narcissus.

Dari kisah ini..kelak remaja remaja kita yang sudah tanpa malu memuji muji dirinya sendiri tanpa kemauan berkembang akan disebut sebagai anak anak narsis seperti juga kebanyakan orang tua kita!

Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.