Yang tampak tidaklah lain dari hal hal usang tentang rendahnya derajat
manusia untuk dapat membekuk semua yang ada di sekelilingnya demi
menyerah pada semua kemauannya!
apa yang dibilang manusia tentang kesalihan, empaty bahkan altruisme? Aku bergerak maju dan mundur di waktu yang bersamaan. Di mana puisi puisiku tak kudapati lagi di tempatnya. Aku tak punya senapan, tapi sebilah pedang telah lama menemani jimat merah di kepalaku untuk setiap kali berteriak lantang di medan medan pertempuran.
Dan bukankah peperangan belum juga selesai, mungkin baru akan dimulai? Tapi aku merasa sedemikian terpuruk, jiwaku sepi, kering. di sekelilingku orang berteriak, mengancam atas nama hal hal yang mereka sendiri sadari sebagai materi yang palsu. Kekalahan mereka dalam melawan dirinya sendiri telah mereka tumpahkan ke mukaku menjadi serupa buruk kedengkian.
Kegilaan itu membuncit, dan aku bertahan separuh nafas..tak lantang meski aku bukan tembok. Aku mungkin sedikit bisa mengerti kenapa Mao menuliskan puisi itu…dulu…
Jakarta yang kejam, atau kamu yang sesungguhnya tak berani mengaku, hingga lantas kau jual apa saja, termasuk jiwa keringatku dan mereka sambil dengan betapa pongah kau bicara dikelilingi anjing anjingmu yang setia: aku bisa saja melenyapkanmu kapan saja saat aku mau!
apa yang dibilang manusia tentang kesalihan, empaty bahkan altruisme? Aku bergerak maju dan mundur di waktu yang bersamaan. Di mana puisi puisiku tak kudapati lagi di tempatnya. Aku tak punya senapan, tapi sebilah pedang telah lama menemani jimat merah di kepalaku untuk setiap kali berteriak lantang di medan medan pertempuran.
Dan bukankah peperangan belum juga selesai, mungkin baru akan dimulai? Tapi aku merasa sedemikian terpuruk, jiwaku sepi, kering. di sekelilingku orang berteriak, mengancam atas nama hal hal yang mereka sendiri sadari sebagai materi yang palsu. Kekalahan mereka dalam melawan dirinya sendiri telah mereka tumpahkan ke mukaku menjadi serupa buruk kedengkian.
Kegilaan itu membuncit, dan aku bertahan separuh nafas..tak lantang meski aku bukan tembok. Aku mungkin sedikit bisa mengerti kenapa Mao menuliskan puisi itu…dulu…
Jakarta yang kejam, atau kamu yang sesungguhnya tak berani mengaku, hingga lantas kau jual apa saja, termasuk jiwa keringatku dan mereka sambil dengan betapa pongah kau bicara dikelilingi anjing anjingmu yang setia: aku bisa saja melenyapkanmu kapan saja saat aku mau!
Jakarta, June 26th, 2008
0 comments:
Post a Comment